Perlindungan Hukum terhadap praktik mandiri perawat
Perawat sebagai tenaga profesional memiliki akuntabilitas
terhadap keputusan dan tindakannya. Dalam menjalankan tugas profesi sehari-harinya,
tidak menutup kemungkinan perawat berbuat kesalahan dan kelalaian baik yan disengaja
maupun tidak disengaja.
Untuk menjalankan praktiknya, maka secara hukum perawat
harus dilindungi terutama dari tuntutan malpraktik dan kelalaian dalam keadaan
darurat. Sebagai contoh misalnya di Amerika Serikat terdapat undang-undang yang
bernama Good Samarinta Acts yang
melindungi tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan pada keadaan darurat.
Di kanada terdapat undang-undang lalu lintas yang membolehkan setiap orang
untuk menolong korban pada setiap situasi kecelakaan, yang bernama Traffic Acts.[1]
Di Indonesia telah menerbitkan UU Nomer 36 Tahun 2006
serta PP Nomer 32 Tahun 1996 dan yang terakhir PERMENKES Nomer 148 tahun 2010
tentang izin dan penyelenggaraan praktik perawat, inipun dalam penerapannya
dilapangan masih membutuhkan penjabaran melalui PERDA/PERBUP karena
perlindungan hukum yang muncul dalam pasal tersebut sangatlah sempit. Seperti
terdapat dalam pasal 11 bagian a PERMENKES Nomer 148 tahun 2010 yang berbunyi :
“Dalam melaksanakan praktik, perawat mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik keperawatan sesuai
standar.”
Pasal ini masih membutuhkan penjabaran yang lebih rinci
tentang apa saja yang boleh dan apa saja yang tidak boleh dikerjakan oleh
seorang perawat dalam melaksanakan praktik mandiri dirumah terutama di daerah
pinggiran yang notabene golongan masyarakat pedesaan dan miskin, yang mana
untuk masalah pelayanan kesehatan masih mengadalkan perawat/mantri untuk
masalah kesehatan mereka. Hal ini sebenarnya di akui sendiri oleh Menteri Kesehatan
yang sekarang dr. Nafsiah Mboi. SpA. MpH, yang menyatakan “kita (Indonesia)
masih kekurangan tenaga dokter yang banyak untuk mencukupi kebutuhan pelayanan
kesehatan di rumah kita sendiri(Indonesia)” pada suatu acara di Surabaya yang
di siarkan SCTVdalam program liputan Enam petang, pada tanggal 1 Mei 2013.
Pasal 10
(1) Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak
ada dokter ditempat kejadian, perawat dapat melakukan pelayanan kesehatan
diluar kewenagan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
(2) Bagi perawat yang menjalankan praktik didaerah yang tidak memiliki dokter dalam
rangka melaksanakan tugas pemerintah, dapat melakukan pelayanan kesehatan
diluar kewenangan sebagaimana dmaksud dalam pasal 8.
(3) Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana dalam ayat (2) adalah
harus mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan dan kemungkinan untuk
dirujuk.
(4) Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota.
(5) Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terdapat dokter,
kewenangan perawat sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak berlaku.
Pasal ini seperti diatas masih memerlukan penjabaran yang
lebih rinci agar tidak terjadi konflik baik dengan diri pelaksana sendiri
karena merasa takut terjadi kesalahan maupun dengan penerima layanan/pasien. Pada
pasal ini juga terdapat pengalihan dan/atau pengaburan peran perawat yang
secara formal, dari peran keperawatan kepada peran pengobatan dan ini yang
sebenarnya menjadi sumber konflik antara dokter sendiri sebagai pemegang hak
pengobatan dan perawat selaku pembajak hak maupun dengan pasien selaku pemakai
jasa, dan masalah ini sendiri telah lama ada dan pemerintah sendiri mengetahui masalah
ini dengan di dasari diterbitkanya pasal ini. masalah antara peran perawat sebagai
perawat yang memberikan asuhan keperawatan dan sekaligus sebagai tenaga
kesehatan yang melakukan pengobatan banyak dialami di Indonesia, terutama oleh
perawat puskesmas (instansi pemerintahan) atau yang tinggal di daerah perifir
(perawat praktik mandiri)[2].
Dan yang menjadi korban masalah ini adalah perawat, sebagai contoh kasus
perawat di Kalimantan yang dipidanakan karena kasus ini, di kebumen perawat di
tindak satpol PP karena melakukan praktik mandiri,[3]
serta di Gresik pada era 2010 awal perawat diambil polisi dengan kasus yang
sama.
Bila kita kaji lebih dalam, masalah ini tidak saja
berimplikasi pada upaya preventif dan kuratif, tetapi berimplikasi pada etika
dan hukum. Penyelesaian masalah ini tentu saja tidak dapat di tangani oleh
perawat yang bersangkutan, tetapi harus melibatkan berbagai pihak, baik
Kementrian Kesehatan, badan hukum, PPNI, IDI, institusi pendidikan, serta
masyarakat sendiri, yang merupakan konsumen layanan kesehatan.
Pada suatu forum perawat sempat terdengar akan membawa
masalah perawat tersebut ke KOMNAS HAM,
cuman terbesik dalam hati kami suatu pertanyaan bisakah kebijakan
pemerintah dlaporkan ke sana sebagai pelaku diskriminasi pada individu perawat
serta profesi perawat???, yaitu dalam pasal 30 UU Nomer 39 Tahun 1999 tentang
HAM yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta
perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat”.
Sesuai dengan bunyi pasal diatas perawat baik individu
maupun profesi merasa takut dan tidak nyaman serta tidak terlindungi bila
melakukan praktik mandiri karena belum jelasnya perundang-undangan yang ada
saat ini dan belum di terbitkannya peraturan dibawahnya.
0 komentar:
Posting Komentar