S E L A M A T D A T A N G DI GAPERDES GRESIK [ GABUNGAN PERAWAT DESA KABUPATEN GRESIK ] SATU-SATUNYA DI INDONESIA

Senin, 10 Juni 2013

Perlindungan Hukum Terhadap Praktik Perawat


  Perlindungan Hukum terhadap praktik mandiri perawat
Perawat sebagai tenaga profesional memiliki akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakannya. Dalam menjalankan tugas profesi sehari-harinya, tidak menutup kemungkinan perawat berbuat kesalahan dan kelalaian baik yan disengaja maupun tidak disengaja.
Untuk menjalankan praktiknya, maka secara hukum perawat harus dilindungi terutama dari tuntutan malpraktik dan kelalaian dalam keadaan darurat. Sebagai contoh misalnya di Amerika Serikat terdapat undang-undang yang bernama Good Samarinta Acts yang melindungi tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan pada keadaan darurat. Di kanada terdapat undang-undang lalu lintas yang membolehkan setiap orang untuk menolong korban pada setiap situasi kecelakaan, yang bernama Traffic Acts.[1]
Di Indonesia telah menerbitkan UU Nomer 36 Tahun 2006 serta PP Nomer 32 Tahun 1996 dan yang terakhir PERMENKES Nomer 148 tahun 2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik perawat, inipun dalam penerapannya dilapangan masih membutuhkan penjabaran melalui PERDA/PERBUP karena perlindungan hukum yang muncul dalam pasal tersebut sangatlah sempit. Seperti terdapat dalam pasal 11 bagian a PERMENKES Nomer 148 tahun 2010 yang berbunyi :
“Dalam melaksanakan praktik, perawat mempunyai hak :
a.       Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik keperawatan sesuai standar.”

Pasal ini masih membutuhkan penjabaran yang lebih rinci tentang apa saja yang boleh dan apa saja yang tidak boleh dikerjakan oleh seorang perawat dalam melaksanakan praktik mandiri dirumah terutama di daerah pinggiran yang notabene golongan masyarakat pedesaan dan miskin, yang mana untuk masalah pelayanan kesehatan masih mengadalkan perawat/mantri untuk masalah kesehatan mereka. Hal ini sebenarnya di akui sendiri oleh Menteri Kesehatan yang sekarang dr. Nafsiah Mboi. SpA. MpH, yang menyatakan “kita (Indonesia) masih kekurangan tenaga dokter yang banyak untuk mencukupi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah kita sendiri(Indonesia)” pada suatu acara di Surabaya yang di siarkan SCTVdalam program liputan Enam petang, pada tanggal 1 Mei 2013.
Pasal 10

(1)     Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter ditempat kejadian, perawat dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenagan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
(2)     Bagi perawat yang menjalankan praktik didaerah yang tidak memiliki dokter dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah, dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dmaksud dalam pasal 8.
(3)     Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana dalam ayat (2) adalah harus mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan dan kemungkinan untuk dirujuk.
(4)     Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
(5)     Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terdapat dokter, kewenangan perawat sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak berlaku.

Pasal ini seperti diatas masih memerlukan penjabaran yang lebih rinci agar tidak terjadi konflik baik dengan diri pelaksana sendiri karena merasa takut terjadi kesalahan maupun dengan penerima layanan/pasien. Pada pasal ini juga terdapat pengalihan dan/atau pengaburan peran perawat yang secara formal, dari peran keperawatan kepada peran pengobatan dan ini yang sebenarnya menjadi sumber konflik antara dokter sendiri sebagai pemegang hak pengobatan dan perawat selaku pembajak hak maupun dengan pasien selaku pemakai jasa, dan masalah ini sendiri telah lama ada dan pemerintah sendiri mengetahui masalah ini dengan di dasari diterbitkanya pasal ini. masalah antara peran perawat sebagai perawat yang memberikan asuhan keperawatan dan sekaligus sebagai tenaga kesehatan yang melakukan pengobatan banyak dialami di Indonesia, terutama oleh perawat puskesmas (instansi pemerintahan) atau yang tinggal di daerah perifir (perawat praktik mandiri)[2]. Dan yang menjadi korban masalah ini adalah perawat, sebagai contoh kasus perawat di Kalimantan yang dipidanakan karena kasus ini, di kebumen perawat di tindak satpol PP karena melakukan praktik mandiri,[3] serta di Gresik pada era 2010 awal perawat diambil polisi dengan kasus yang sama.
Bila kita kaji lebih dalam, masalah ini tidak saja berimplikasi pada upaya preventif dan kuratif, tetapi berimplikasi pada etika dan hukum. Penyelesaian masalah ini tentu saja tidak dapat di tangani oleh perawat yang bersangkutan, tetapi harus melibatkan berbagai pihak, baik Kementrian Kesehatan, badan hukum, PPNI, IDI, institusi pendidikan, serta masyarakat sendiri, yang merupakan konsumen layanan kesehatan.
Pada suatu forum perawat sempat terdengar akan membawa masalah perawat tersebut ke KOMNAS HAM,  cuman terbesik dalam hati kami suatu pertanyaan bisakah kebijakan pemerintah dlaporkan ke sana sebagai pelaku diskriminasi pada individu perawat serta profesi perawat???, yaitu dalam pasal 30 UU Nomer 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat”.
Sesuai dengan bunyi pasal diatas perawat baik individu maupun profesi merasa takut dan tidak nyaman serta tidak terlindungi bila melakukan praktik mandiri karena belum jelasnya perundang-undangan yang ada saat ini dan belum di terbitkannya peraturan dibawahnya.


[1] Robert Priharjo. Op.cit h 78
[2] Robert Priharjo. Op.cit h 32

0 komentar:

Posting Komentar