S E L A M A T D A T A N G DI GAPERDES GRESIK [ GABUNGAN PERAWAT DESA KABUPATEN GRESIK ] SATU-SATUNYA DI INDONESIA

Jumat, 17 Mei 2013

dugaan kelalaian tenaga kesehatan

Kelalaian tenaga kesehatan atau sering disebut malpraktik kadang kala muncul dalam masalah pelayanan kesehatan terutama dalam bidang pengobatan dan keperawatan. Kelalaian tenaga kesehatan/malpraktik sendiri mempunyai pengertian beragam. Menurut Worl Medical Associatian (1992), malpraktik yaitu :
1.      Medical malpractice involves the physician failrute to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition.
2.      Or lack of skill
3.      Or negligence in providing care to the patient
4.      Wich is the direct causa of in injuri to the patient.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk
1.      Malfeasance
2.      Misfeasance
3.      Nonfeasance
Empat unsur sikap tenaga kesehatan dianggap lalai
1.      Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan medis atau tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu.
2.      Direliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
3.      Damage atau kerugian adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat pelayanan kesehatan kedokteran dan atau keperawatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan.
4.      Direct casual reletionship atau hubungan sebab akibat yang nyata.
Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian tenaga kesehatan harus membuktikan adanya ke-empat unsur diatas. Apabila salah satu diantaranya tidak dapat dibuktikan maka gugatan tersebut diniliai tidak cukup bukti.
Diagram dugaan pelanggaran
  

 Diagram1.3. Prosedur Penuntutan Dugaan Kelalaian Tenaga Dokter dan perawat Sesuai UU  Kedokteran dan RUU Keperawatan.

A.  Dasar hukum penuntutan ganti rugi
Dalam UU kesehatan nomer 23 pasal 54 dan pasal 55 menyebutkan :
Pasal 54
(1)     Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2)     Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh majlis disiplin tenaga kesehatan.
(3)     Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja majlis disiplin tenaga kesehatan ditetapkan dengan keputusan presiden.

Pasal 55
(1)     Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2)     Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam KUHPerdata juga mengatur mengenai ganti rugi atas kesalahan dan kelalaian petugas kesehatan yang tercantum dalam pasal :
Pasal 1365
“Tiap berbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Pasal 1366
“Setiap orang bertanggungjawab untuk kerugian tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatanya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.

Pasal 1367
“Setiap orang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatanya sendiri,  tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggunganya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasanya.

Pasal 1370
“Dalam halnya suatu pembunuhan dengan sengaja atau kurang hati-hatinya seseorang, maka suami atau istri yang ditinggalkan, yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban, mempunyai hak menuntut suatu ganti-rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan.
Pasal 1371
“Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk, selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan.
Pasal 1372
“Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapatkan penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.

Di dalam KUH Pidana juga ditemukan pasal-pasal tentang kelalaian yaitu :
Pasal 359
“Barang siapa karena kesalahan/ kealpaanya (kelalaianya) menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360
(1)     Barang siapa karena kesalahanya (kelalainya) menyebabkan orang lain mendapatkan luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
(2)     Barang karena kesalahanya (kelalaianya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pasal 361
“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambahkan dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.

B.  Pembuktian Adanya Kewajiban dan Pelanggaran
Dasar adanya kewajiban tenaga kesehatan adalah adanya hubungan kontraktual profesional antar tenaga kesehatan dengan pasien, kewajiban profesional diuraikan dalam sumpah profesi, etika profesi, berbagai standar pelayanan dan prosedur oprasional.
Kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan baik bagi pemberi layanan maupun penerima layanan, untuk dapat memperoleh kualifikasi sebagai perawat atau dokter, setiap orang harus memiliki suatu kompetensi tertentu di bidang medik dengan tingkat yang tertentu pula, sesuai dengan kompetensi yang harus dicapai selama mengikuti pendidikan keperawatan atau kedokteran.
 Untuk dapat melakukan praktik perawat :
  1. Perawat harus memiliki kewenangan bidang kesehatan (izin praktik)
  2. Perawat harus memiliki kewenangan formil (surat penugasan)
  3. Perawat harus memiliki kewenangan materiel yang diperoleh dengan memperoleh izin praktik.
Sikap dan tindakan yang wajib dilakukan oleh perawat diatur dalam berbagai standar :
1.    Standar prilaku diurai dalam etika keperawatan dan kode etik keperawatan
2.    Standar prilaku PPNI.
Dengan melihat uraian kewajiban diatas, maka mudah buat kita untuk memahami arti penyimpangan kewajiban, dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan “what is right (or wrong) for one person in a given, situation is similarly right (or wrong) for any other in an indential situation”
C.  Pembelaan Adanya Penyimpangan Kewajiban
Pada umumnya hubungan profesional antara perawat / dokter dengan pasien telah terbentuk, dimana sangat jarang kelalaian medik terjadi karena adanya hubungan perawat-pasien, seperti pada upaya pertolongan dokter/perawat pada gawat darurat medik yang tidak pada sarana kesehatan, dengan demikian pembelaan harus ditujukan kepada upaya pembuktian tidak adanya pelanggaran yang ditujukan yang dilakukan perawat atau dokter.
Dalam KUHP, UU Kesehatan dan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan tidak terdapat pelanggaran dokter / perawat terhadap kewajiban, demikian pula pasal-pasal dalam sumpah profesi, etika keperawatan / kedokteran dan standar prilaku IDI maupun PPNI, kecuali yang berkaitan dengan standar prosedur / standar pelayanan minimal.
Pembelaan harus dapat menunjukkan bahwa tidak ada penyimpangan standar profesi dan atau standar prosedur operasional atau kalaupun ada penyimpangan dapat dibuktikan bahwa penyimpangan tersebut masih dapat dibenarkan atau dimaafkan. Seperti kita lihat pada faktor-faktor dibawah ini.
Faktor-faktor pemaaf dan pembenaran ialah :
1.      Keterbatasan sumber daya.
2.      Pendeknya waktu atau tingkat keparahan
3.      Sifat perjalanan penyakit pasien.
D.  Pembuktian Kerugian dan Hubungan Kausalnya
Pada dasarnya suatu kerugian adalah sejumlah uang tertentu yang harus diterima oleh pasien sebagai kompensasi agar ia dapat kembali ke keadaan semula sebelum terjadinya sengketa medik, tetapi sulit untuk dicapai pada kerugian yang berbentuk kecederaan atau kematian seseorang, oleh karena itu kerugian tersebut harus dihitung sedemikian rupa sehingga tercapai jumlah yang layak (Reasonable atau fair) suatu kecederaan sukar dihitung dalam bentuk financial.
Kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.      Kerugian immaterial (general damages, non pecuniary losses).
2.      Kerugian material (special damages, pecuniary losses).
a.       Kerugian akibat kehilangan kesempatan.
b.      Kerugian nyata, terdiri dari :
1)      Biaya yang telah dikeluarkan hingga saat penggugatan
2)      Biaya yang akan dikeluarkan sesudah penggugatan.
Ditinjau dari segi kompensasinya, kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.      Kompensasi untuk kecederaan yang terjadi bersifat immaterial
a.       Sakit dan penderitaan
b.      Kehilangan kesenangan / kenikmatan (amenities)
c.       Kecederaan fisik / psikiatris
2.      Kompensasi untuk pengeluaran tambahan
a.       Pengeluaran untuk perawatan rumah sakit
b.      Pengeluaran untuk biaya medis lain
c.       Pengeluaran untuk perawatan
3.      Kompensasi untuk kerugian lain yang foreseable (kerugian akibat kehilangan kesempatan)
a.       Kehilangan penghasilan
b.      Kehilangan kapasitas mencari nafkah.
E.  Pembelaan Terhadap Aspek Kerugian dan Kausalitas
Dalam posisinya sebagai tergugat, perawat / dokter harus membela diri dengan mencoba membuktikan bahwa setidaknya salah satu unsur kelalaian medik diatas adalah tidak benar. Salah satu contohnya adalah bahwa kerugian yang merupakan akibat tindakan atau kelalaian perawat/dokter tidaklah sebesar yang digugat.
Dalam menilai ganti rugi (remoteness of demege) dikenal 2 pendekatan :
1.  Berdasar atas pandangan bahwa tergugat bertanggungjawab atas segala akibat langsung dari   kelalaian, tanpa mempertimbangkan apakah hal tersebut tidak biasa ataupun tidak terduga.
2.    Didasarkan atas pandangan bahwa seseorang hanya bertanggungjawab atas akibat-akibat yang secara reasonable dapat diantisipasi, bahkan juga pada keadaan ia tidak diragukan lagi sebagai penyebab kerugian atau kecederaan tersebut.
Didalam praktik kedua pendekatan tersebut tidaklah mudah diterapkan dan dipilih mana yang benar, oleh karena kenyataan tidaklah sedemikian sederhana.
Suatu adverse outcome (hasil tidak diharapkan) dibidang medik sebenarnya diakibatakan oleh beberapa kemungkinan yaitu :
1.   Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan perawat ataupun dokter.
2.      Hasil dari suatu resiko yang tidak dapat dihindari, yaitu yang tak daapat diketahui sebelumnya karena tindakan yang dilakukan adalah satu-satunya cara terapi. Resiko tersebut harus diinformasikan terlebih dahulu.
3.      Hasil dari suatu kelalaian medik (malpraktik).
4.      Hasil dari suatu kesengajaan, ini tidak mungkin terjadi didunia keperawatan ataupun kedokteran.
  Cara kejadian (maner of the occurrence) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.      Forenseeable, contohnya seorang dokter yang melakukan SC kemudian  melakuakan tindakan yang tidak cermat dapat mengakibatkan perlukaan yang tidak perlu. (misalnya tepotongnya ureter / vecica urinaria).
2.      Unforseeable, contoh berhunganan dengan kasus diatas. Terjadinya perlekatan berlebihan alat-alat dalam disekitar reproduksi.
Jenis cedera juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.      Forensen, cidera yang berhungan dengan atau akibat dari suatu tindakan.
Contoh : seorang dokter melakukan operasi wound toilet, kerena kurang seteril atau dalam melakukan operasi kurang adekut dan kemudian hari terjadi tetanus/ gamggren atau sepsis.
2.      Unforeseen, adalah cidera yang disebabkan atau terjadi tidak ada hubungannya dengan tindakan yang telah dilakukan.
   Contoh : seorang ibu mengalami perdarahan ketuban pecah dini yang tidak bisa tolong dan     menyebabkan    kesulitan jalan lahir, terinfeksi, dan kemudian terjadi kematian ibu dan kerugian finansial maka kesemuanya dianggap foreseeable, tetapi kemudian apabila terjadi kematian suaminya yang kebetulan menderita infark jantung maka kematian suami tersebut termasuk unforeseeable